Pada zaman purba, kepulauan tanah air kita disebut dengan aneka nama. Dalam catatan bangsa Tionghoa kawasan kepulauan kita dinamai “Nan-hai” (Kepulauan Laut Selatan). Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini “Dwipantara” (Kepulauan Tanah Seberang), nama yang diturunkan dari kata Sansekerta “dwipa” (pulau) dan “antara” (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Valmiki yang termasyhur itu menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Ravana, sampai ke “Suwarnadwipa” (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.
Bangsa Arab menyebut tanah air kita “Jaza’ir al-Jawi” (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan adalah “benzoe”, berasal dari bahasa Arab “luban jawi” (kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon “Styrax sumatrana” yang dahulu hanya tumbuh di Sumatra. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil “Jawa” oleh orang Arab.
Bahkan orang Indonesia luar Jawa sekalipun. “Samathrah, Sholibis, Sundah, kulluh Jawi (Sumatra, Sulawesi, Sunda, semuanya Jawa)” kata seorang pedagang di Pasar Seng, Mekah.